Babad Ponorogo 1
Seri Babad Ponorogo, Ponorogo Di Era Belanda.
Sadhumuk Batuk Sanyari Bumi, Dibelani Tekan Pati.
(Kisah Raden Martopuro Membunuh Asisten Residen Belanda)
Di kawasan Bungkal, ada seorang tokoh bernama Raden Martopuro . Beliau masih keturunan (cucu buyut) bupati Ponorogo ke 13 yaitu Raden Suradiningrat. Sejak remaja dalam darah Raden Martopuro bergolak rasa benci kepada Belanda yang dinilainya sewenang wenang terhadap bangsanya. Ketika pecah Perang Diponegoro, Raden Martopuro bergabung dengan Gusti Kanjeng Jimat Pacitan yang di ikutinya sejak remaja untuk melawan Belanda.
(Kisah Raden Martopuro Membunuh Asisten Residen Belanda)
Di kawasan Bungkal, ada seorang tokoh bernama Raden Martopuro . Beliau masih keturunan (cucu buyut) bupati Ponorogo ke 13 yaitu Raden Suradiningrat. Sejak remaja dalam darah Raden Martopuro bergolak rasa benci kepada Belanda yang dinilainya sewenang wenang terhadap bangsanya. Ketika pecah Perang Diponegoro, Raden Martopuro bergabung dengan Gusti Kanjeng Jimat Pacitan yang di ikutinya sejak remaja untuk melawan Belanda.
Saat perang Diponegoro usai, Raden Martopuro memilih tinggal di Bungkal dan bekerja menjadi pengawas gudang kopi. Saat itu bergolak kembali kebencian Raden Martopuro karena Belanda memonopoli hasil kopi rakyat. Kopi harus dijual kepada Belanda dengan harga sangat murah di bawah harga pasaran. Rakyat yang tidak tunduk disiksa dengan kejam.
Melihat tindakan Belanda, Raden Martopuro memberi kesempatan rakyat di Bungkal untuk menjual hasil kopinya secara sembunyi sembunyi ke pasar. Akhirnya Belanda mencium gelagat tersebut dan menyiksa rakyat untuk memberi tahu siapa yang mengajari mereka. Salah seorang wanita kemudian mengaku bahwa mereka diberi tau cara menjual kopi ke pasar oleh Raden Ayu Martopuro (Istri Raden Martopuro)
Tuan Willen, asisten residen Belanda di Ponorogo lalu datang ke rumah Raden Martopuro. Sampai disana bertemulah tuan Willen dengan Raden Martopuro dan istrinya yang sangat cantik. Merasa pangkatnya tinggi, Tuan Willen melakukan hal yang kurang ajar yakni menyentuh pipi istri Raden Martopuro.
Raden Martopuro murka dan langsung memegang hulu keris siap menikam tuan Willen namun dicegah oleh mantrinya. “Raden,semarah apapun raden, tuan Wilem adalah tamu”..ucap mantri. Raden Martopuro pun berkata, “baiklah..tapi ingatlah kata kataku… penghinaan Tuan Willen akan dia bayar dengan nyawanya” ucap Raden Martopuro.
Raden Martopuro Membunuh Tuan Willen
Sadhumuk batuk sanyari bumi dibelani tekan pati (menyentuh kening/symbol kehormatan wanita, melanggar hak meski hanya sejengkal akan dibayar dengan nyawa) demikianlah semboyan Raden Martopuro. Dendam Raden Martopuro terhadap tuan Willen tak kunjung padam.
Suatu ketika tuan Willen mengadakan pesta perayaan tahun baru. Di antara undangan datanglah Raden Martopuro. Saat tengah malam Raden Martopuro menghadap pengawal tuan Willen untuk minta ijin bertemu. Setelah berhadap hadapan, Raden Martopuro langsung menikam tuan Willen dengan keris hingga mati seketika. Pengawalpun gempar, karena Raden Martopuro terkenal sakti ia mampu meloloskan diri.
Dikhianati Bangsa Sendiri
Sudah lazim kalau di antara bangsa selalu ada yang bertindak khianat. Belanda yang tidak mampu menangkap Raden Martopuro lalu menawarkan harta dan pangkat bagi siapa saja yang bisa menangkap Raden Martopuro. Tersebutlah seorang bernama Nurhandam yang merupakan saudara seperguruan Raden Martopuro, tergiur bujukan belanda. Dengan ilmunya ia bisa menemukan Raden Martopuro yang mempunyai ilmu menghilang.
Nurhandam kemudian membujuk Martopuro untuk menyerah dengan alasan bahwa ibu dan anak istrinya sudah ditawan belanda. Raden Martopuro awalnya menolak namun karena khawatir keselamatan ibu dan keluarganya maka ia menyerah.
Setelah menyerah,ternya
Akhir Kisah
Sebelum hukuman mati, tengah malam Nurhandam menemui Raden Martopuro. Kepada Nurhandam, Raden Martopuro menyatakan bahwa ia kecewa karena dihukum dengan cara digantung. “Seorang satria itu lebih baik mati di medan laga, membunuh atau dibunuh” ucap Raden Martopuro geram. Ia juga menyalahkan Nurhandam yang dianggap saudara seperguruan yang berkhianat. Nurhandam lalu berkata” jika saya yang salah, semoga saya mati mendahului kakang”. Ucapnya
Raden Martopuro kemudian meraba sabuknya lalu mengambil keris kecil yang ia simpan lalu berkata” cabut keris ini Nurhandam!!” lalu menusuk dadanya sendiri dengan keris itu. Nurhandam yang kaget lalu memegang keris itu dan mencabutnya.
Ternyata hal itu merupakan siasat Raden Martopuro, pengawal langsung menangkap Nurhandam atas tuduhan membunuh Raden Martopuro. Ia kemudian langsung dijatuhi hukuman mati saat itu juga. Nurhandam termakan ucapanya sendiri bahwa jika ia salah ia akan mati mendahului Raden Martopuro.
Pasukan Belanda yang mengira Raden Martopuro mati lalu membuang jtubuhnya ke lubang dan menimbunya dengan tanah. Raden Martopuro ternyata masih hidup namun terluka parah, dengan sisa kekuatanya ia “bangkit dari kubur” dan berjalan sampai ke Mangunsuman. Sampai disana ia ditemukan rakyat lalu bercerita apa yang ia alami. Akhirnya Raden Martopuro meninggal dan dimakamkan di Mangunsuman.
Info admin: tulisan ini merupakan alih bahasa dari naskah asli babad Ponorogo berbahasa Jawa Halus. Ada sebagian penyuntingan tulisan namun secara umum insyallah tidak merubah point tulisan.
Sumber: FB Setenpo Dalam : Buku Babad Ponorogo Karangan Purwowidjoyo, Jilid VI.
Dimana bisa saya dapatkan buku babad ponorogo karya poerwowidjojo ?
ReplyDelete